Seperti biasa Dimas, Jaka, Novan, Verdy dan Agus
berkumpul di meja kantin saat istirahat. Seperti biasa pula selalu ada hal baru
yang dipertaruhkan. Geng beranggotakan cowok-cowok tampan di sekolah ini memang
menganggap taruhan sebagai camilan. Kalau tidak taruhan, tidak asyik!
“Nah kalo gitu
gue punya taruhan baru.” Kata Dimas setelah mengantongi uangnya.
“Apa lagi nih Dim?” Sergah Novan bersemangat.
Mereka berlima saling membungkuk dan mendengar penuturan
Dimas dengan penuh perhatian.
“Kalian tahu Dara kan?”
“Oh anak IPA-1 itu?” sahut Verdy.
“Oh si Miss Perfect itu ye?” Kali ini Agus dengan bibir
mencibir.
“Iye…si jutek dari Bulan itu kan?” Sahut Jaka. Yang lainnya seraya
menatapnya heran.
“Kenapa pada liatin gue?”
“Si jutek dari bulan maksudnya?” Tanya Dimas.
“Do’i kan
cantik banget euy…masa belaga ga tau sih lo pada.” Jawab Jaka kesal.
Novan, Agus dan Verdy menutup mulut menahan tawa. Hanya
Dimas yang stay cool, tetap focus pada misi yang sudah ia pikirkan satu ini.
“Udah…udah…kalian pada mau dengerin gue ga sih?”
“Oke…oke kita dengerin.”
“Jadi taruhannya adalah…” Dimas diam, Agus, Novan, Verdy
dan Jaka menunggu.
“Siapa yang bisa jadian ama Dara dalam waktu satu bulan
dan bikin dia klepek-klepek di pelukan, bakal di kerjain LKS Matematikanya ampe
tuntas dan yang kalah nraktir bakso seminggu dan musti ngerjain LKS yang
menang, setuju?” Dimas mengakhiri kalimatnya dan memandang wajah temannya satu
persatu.
Jaka tentu saja mengangguk, begitu juga Novan dan Agus.
Hanya Verdy yang terlihat mikir-mikir.
“Elo Ver?”
“Tapi LKS Matematika gue udah gue kerjain ampe penuh.”
Jawab Verdy kecewa.
Dimas, Novan. Jaka dan Agus menepuk jidat bersamaan.
Mereka lupa kalau Verdy adalah jelmaan Socrates. Alias matematika oriented.
“Mmm…khusus lo seni budaya deh.” Dimas membuat
pengecualian.
“Maksud lo?” Tanya Agus.
“Iya tugas seni budaya Verdy, kalo Verdy yang menang
kita yang kerjain.”
“Sumpah lo?”
“Suer samber geledek!” Dimas mengacungkan kedua jarinya.
Jadi konferensi ditutup dengan menghirup es teh hingga
tetes terakhir dan sendawa keras penuh kepuasan. Semua setuju, misi
dilaksanakan mulai hari senin besok.
****************
Ini sudah hari ke enam Dimas
mengamati Dara. Kebiasaannya saat istirahat, saat pulang sekolah bahkan saat
Dara ke toilet. Jadi Dimas sekarang menunggu Dara di depan sekolah. Dengan
ekspresi ‘dewa’nya ia bersandar di gerbang sekolah dengan tangan di saku dan
kaki menyilang.
Beberapa siswi melemparkan
senyum menggoda pada Dimas. Tapi Dimas bahkan tidak membalas. Ia tetap stay
cool as always dan dengan wapada menunggu kalau Dara lewat.
Sesosok tubuh anggun dengan tas
ransel warna biru muda di punggungnya melangkah tegas ke arah gerbang. Dengan
penuh pesona Dimas mencegatnya.
“Hai kamu Dara kan?” Sapa Dimas dengan
senyum yang ramah.
“Iya, kamu sapa?”
Apa? Dia ga kenal gue? Cowok paling tampan di sekolah!
“Kenalin aku Dimas XI IPA-3.”
Dimas menyodorkan tangannya.
“Oya ada apa?” Dara tidak
menggubris tangan Dimas sama sekali. Baginya bersalaman dengan lelaki bukan hal
penting.
“Mmm…gini aku kan ada ulangan fisika hari sabtu…” Dimas
melayangkan tangannya ke kepala dan membuat ekspresi malu-malu. “boleh nggak
kalo aku minta ajarin kamu?”
“Bisa.”
“Gimana kalo kita belajar di
rumah kamu?” Tawar Dimas dengan semangat yang tidak kentara.
“Bisa juga.”
“Kalo gitu kap…”
“Besok sepulang sekolah, jangan
telat ato ga jadi.” Tukas Dara lugas dan segera melangkah keluar gerbang.
“Dara…”
“Apa lagi?”
“Boleh aku anter pulang?
Sekalian tau rumah kamu, aku kan
belum tau rumah kamu.” Kata Dimas penuh harap.
“Aku dijemput sopir, kamu
ngikutin aja dari belakang.” Jawab Dara lalu segera berlalu.
Dimas sedikit kecewa, tapi ia
meninju udara. Setidaknya ia bisa langsung masuk rumah Dara!
**********
Siang hari sepulang sekoah.
Seperti janjinya, Dimas datang ke rumah Dara.
Rumah Dara bertingkat dua namun
sederhana. Ada
taman kecil yang tertata rapi di halamannya. Dimas disuruh menunggu di ruang
tamu yang sejuk dan sofa yang empuk.
“Siapa Ra?” Terdengar suara
perempuan dari dalam.
“Temen Dara Bun. Minta ajarin
fisika.”
“Temen sekelas? Kok belum
pernah lihat Bunda?”
“Bukan beda kelas, eh Dara
ganti baju dulu ya Bun.” Dara pun menghilang di kamarnya.
Dara kembali menemui bundanya
dengan pakaian santai, kemeja dan celana panjang training.
“Makan dulu Ra, ajak juga deh
temennya!.”
Dara berjalan ke ruang tamu
dengan anggun.
“Dim, aku mau makan siang dulu.
Kamu makan sekalian ayo!” Ajak Dara sambil menyisir rambut dengan tangannya.
Dimas terdiam, mengagumi rambut
lurus Dara yang jatuh kembali dengan lembut ke dahinya. Poninya berombak di
pelipis kiri dan kanan, membingkai wajah Dara yang cantik
See, she’s gorgeous!!
“Dim…kamu mau ikut makan
nggak?” Dara bertanya dengan suara lebih jelas.
“Oh…eh iya kalau nggak ngerepotin.”
Dimas tersipu malu ketahuan menatap Dara seperti itu.
“Oh nggak papa kok sama sekali
nggak ngerepotin, ayo sini!” Seru Bunda dari dalam.
Dimas akhirnya ikut makan siang
di meja makan, bersama Bunda dan Dara. Dimas melihat Dara bercanda dengan
bundanya, dan sesekali mereka bertiga tertawa bersama. Ini baru pertama kalinya
Dimas ke rumah Dara, tapi ia sudah terkesan sedemikian rupa.
Setelah itu seperti tujuan
semula Dara mengajari Dimas fisika. Dimas terkejut, Dara mengajar dengan jelas
dan sabar.
“Yang ini aku
bingung….” Tunjuk Dimas pada soal nomor tiga.
“ Ah yang itu gampang, tapi
agak ribet. Kamu hitung dulu ini trus baru dikali dua.” Terang Dara. Dimas pun
menghitung seperti yang dianjurkan Dara.
“ Iya Day, jadi gampang bang…”
“Day…?” Dara melotot.
“Iya maksud aku kalo manggilnya
Dar kan aneh,
jadi…gue panggil Day aja. Ga papa kan?”
Dimas menjelaskan dengan malu-malu.
“It’s oke…” Dara kembali
menekuri soal berikutnya.
Dimas hanya menatapnya penuh
kekaguman. Dara begitu anggun, tegas, pintar dan mempesona secara bersamaan.
Gimana mungkin gue baru kenal dia sekarang…
Dalam keadaan taruhan…
Dimas merintih tanpa sadar.
“Kamu kenapa…udah bosen?” Dara
menatap Dimas.
“Iya…dikit, aku pulang dulu deh
ya.” Dimas menampilkan ekspresi meminta maaf.
“Ya udah." Dara
membereskan buku-buku di meja.
Dimas pamit pada Bunda dan pulang
ke rumah dengan hati galau.
******************
Dua minggu kemudian di meja
kantin yang sama.
“Gimana Bro…ada kemajuan?” Tanya Dimas pada
teman-temannya.
“Kalo gue sih kemunduran
adanya.” Jawab Verdy lesu.
“Gue juga, si Dara bahkan ga
noleh waktu gue sapa.”
“Fiuuhhh…mendingan lo pada, lha
dia nampar gue di hari ke dua kita ngobrol.” Curhat Jaka sambil mengusap pipi
kirinya. Kontan Dimas, Novan, Verdy dan Agus tertawa.
“Kok bisa, lo apain dia?” Tanya
Dimas penasaran.
“Jurus gue yang biasa, peluk
pinggangnya trus gue bilang ‘hey Dara manisku’” Yang lainnya kembali tertawa.
“Pantesan aja, Dara lo gituin.”
Sahut Novan sambil terus tertawa.
“Ada yang mau denger cerita gue?” Seru Dimas.
Yang lain terdiam seketika.
“Gue berhasil main ke rumah
Dara…” Keempat temannya ber wow serempak. “bahkan gue akrab ama bundanya, gue
juga sering makan siang bareng…” Dengan bangganya Dimas menceritakan
keakrabannya dengan Dara.
“Gawat bias-bisa lo lagi yang
menang.” Ujar Novan setelah Dimas selesai bercerita.
“Wah…bisa botak gue ngerjain
LKS Matematika anak IPA-3.” Sahut Agus yang anak IPS.
“Tenang kan ada Verdy, dia yang bakal bantuin kita.”
Seru Novan sambil melirik si jago matematika.
“Eit jangan lupa kewajiban
menraktir yang menang.” Kata Dimas.
“Aaaahhh…kalo inget yang itu
mules gue.”
“Iya gue juga, mana bokek lagi…”
“No komen…” Dimas berlaga
seolah menutup resleting mulutnya.
Siangnya sepulang sekolah Dimas
kembali main ke rumah Dara. Dimas selalu senang melihat Dara dengan pakaian
kasual. Hari ini celana panjang warna abu-abu dengan banyak kantong dan kaos
lengan panjang hijau lumut.
“Bunda mana Ra?” Tanya Dimas
sambil melongok ke ruang tengah. Tidak ada siapa-siapa disana. Dara anak
tunggal, jadi terasa sekali kalo tidak ada bunda.
“Nganter Ayah ke dokter.” Jawab
Dara sambil menaruh toples berisi camilan di meja.
“Ayah lo sakit?” Dimas
terkejut. “Kenapa kamu ga pernah cerita?”
“Ha kenapa harus cerita sama
kamu?” Canda Dara.
“we’re friends aren’t we?” ujar
Dimas terluka. “ kamu kan
bisa cerita apa aja ke aku.”
“Kita teman lah, tapi kenapa
harus berbagi sesuatu yang menyedihkan sama teman, kalo bahkan gue sedikit bisa
berbagi kebahagiaan?” Jawab Dara filosofis, dalam, menohok ulu hati Dimas.
Dimas ingat taruhannya dengan teman-temannya. Hatinya sakit sekarang.
Ini bahkan bukan pertemanan yang tulus Ra…
“Kamu, kamu baik banget Ra…”
Ucap Dimas sambil tersenyum kikuk.
Gue harus terus terang sama Dara!
“Biasa aja. Anyway kamu juga
baik kok.” Ujar Dara tulus.
Gue harus terus terang! Betapa jahatnya gue!!
“Ra…aku mau…” Dimas mencoba
bicara.
“Hmm…?” Dara menatap Dimas
menunggu.
“Aku…mau…terus terang…” Dimas
mulai berkeringat.
“Terus terang soal apa?” Tanya
Dara dengan suara tegasnya yang biasa.
“Kalo…kalo sebe…nernya…” Dimas
merasa tidak sanggup.
Bilang! Bilang Dim, gentleman dong!!
“Kamu mau bilang sebenernya
kamu ndeketin aku karena taruhan?” Nada suara Dara biasa, datar tanpa emosi.
Dimas terkejut setengah mati. Tidak menyangka Dara sudah tahu, dan bahkan masih
mau berteman dengannya.
“Kamu tahu?”
“Kamu nggak berpikir aku idiot kan, ampe nggak tahu
siapa kamu dan gerombolan kamu?” Ujar Dara tiba-tiba sinis.
“Tapi awal kita ketemu?” Dimas
bingung.
“Saat itu kamu emang ga kenal
kamu siapa, tapi pas kamu bilang nama dan kelasmu. Aku tahu aku berhadapan
dengan siapa.” Ekspresi Dara mengeras. Suasana tiba-tiba keruh.
“Sorry Ra, aku tahu ini ga
bener. Makanya aku mau terus terang.”
“Nggak usah…buat apa. Toh aku
juga nggak berhasil klepek-klepek di pelukan kamu” Dara tersenyum sinis.
“Dara…I’m really sorry.” Ucap
Dimas tulus.
Stop!! I’m hurt if you hurt Dara.
“I did. Aku udah maafin kamu
dari dulu. Aku pikir kalo kamu ga taruhan, kita mungkin ga akan pernah jadi
teman.” Ujar Dara tulus. Wajahnya melembut.
“Gimana kalo akhirnya berbeda?”
Suara Dimas tiba-tiba meninggi. “gimana kalo akhirnya aku jatuh cinta…sama kamu?”
Dimas terkejut mengatakannya. Dara lebih terkejut seribu kali.
“Tapi aku nggak bisa.” Jawab
Dara lirih.
“Kenapa, karena kamu pikir ini
taruhan?” Tanya Dimas. Hatinya berdarah sekarang.
“Bukan…”
“Lalu kenapa?” Desak Dimas.
“Aku sakit Dimas…” Dara mulai
terisak.
“Sakit?” Dimas tidak mengerti.
“Iya…”
“Sakit apa?” Dimas berdiri
mendekati Dara.
“Sakit yang tidak
bisa….disembuhkan.” Dara menarik napas.
Sakit yang tidak bisa disembuhkan?
“Aku ODHA Dimas…aku ODHA!!.”
Air mata mengucur deras di pipi Dara. Dimas seperti tersambar petir, hatinya
begitu sakit sampai sulit bernapas.
“Maaf…maafin aku…aku…” Dimas
menyentuh dadanya.
“Kenapa, kamu minta maaf karena
kamu ga jadi jatuh cinta sama aku kan?”
Dara mundur menjauhi Dimas. “kamu pasti sekarang takut deketin aku?”
“Nggak…Ra, bukan…”
Bukan itu Dara dear…
Hatiku terlalu sakit memikirkan aku bakal kehilangan kamu…
“Aku tahu Dimas…aku tahu yang
kamu pikirkan.”
“Kamu nggak tahu!!” Jerit Dimas
kesal. Lalu tanpa diduga Dimas memeluk tubuh Dara. Dimas meraih wajah Dara dan
menciumnya. Dara terkesiap, tidak menyangka Dimas selancang itu. Mau tidak mau
Dara blushing.
“Dimas…maaf…” Dara melepaskan
diri.
“Bukan, aku yang maaf, aku ga
bisa lihat kamu menangis aku…” Dimas menyesal telah begitu lancang dan kurang
ajar.
“Jangan…”
“Apa?”
“Jangan dekati aku lagi…jangan
pernah datang kesini lagi!.” Ujar Dara tajam.
“Maafkan aku…”
“Cukup!” Dara menghentikan
tangisnya. “Silahkan pulang, kamu belum makan kan.”
“Oke aku pulang, forgive me, I
love you.” Dimas menyerah dan berjalan keluar menuju sepeda motornya.
“I love you too, Dimas…” Dara
berkata lirih.
Jaka, Novan, Verdy dan Agus
terkejut Dimas menghentikan taruhan. Ini luar biasa. Selama ini Dimaslah yang
paling antusias saat bertaruh, ia bahkan rela mempertaruhkan apapun.
“Lo kenapa Dim?”
“Lo diomelin bokap lo?”
“Uang saku lo dicabut?”
Tidak ada jawaban, Dimas pergi
begitu saja. Baginya semuanya sudah selesai, Dara tidak pernah mau menemuinya
lagi. Tidak di gerbang sekolah, kantin, bahkan di rumah.
*************
Ini sudah akhir
bulan, hari dimana seharusnya Dimas mengakhiri taruhannya. Dengan penuh
semangat Dimas datang ke rumah Dara sepulang sekolah. Ia sudah bertekad, akan
tetap mencintai Dara. Ini Dimas pertama kali jatuh cinta, ia tidak rela
cintanya berakhir begitu saja.
I’m falling in love with
you. Jadi aku akan tetap cinta sama kamu, aku nggak peduli ini awalnya taruhan,
atau cinlok, atau bahkan kamu ODHA sekalipun.
Dimas sudah sampai di rumah Dara. Tidak ada yang berubah dari rumah
Dara, tetap asri dan nyaman seperti biasa.
Dimas mengetuk pintu. Bunda terlihat berjalan dan membuka pintu.
“Helo Bunda, Dara ada?” Dimas mencoba menahan debur di dadanya.
Kali ini aku akan sopan Ra…
“Dara nggak ada Dim.” Bunda
tersenyum, tapi ada yang aneh. Seperti ada yang janggal di matanya.
“Kemana ya Bun.” Dimas
merasa tidak sabar.
Bunda memandang langit,
lalu air matanya menetes perlahan.
Sesuatu berdentang di
kepala Dimas. Dara itu ODHA!
Sepertinya Dimas juga tahu
jawabannya. Karena air matanya juga menetes perlahan. Tanpa berlama-lama Dimas
segera pergi setelah berterimakasih pada Bunda.
Selamat tinggal Dara…
Terimakasih sudah menjalin
pertemanan yang indah denganku, meski sangat singkat.
Dimas menyetir perlahan,
matanya kabur oleh air mata. Hatinya hancur tanpa sisa. Cinta pertamanya telah
membawa separuh hatinya pergi selamanya. Hatinya tidak akan pernah utuh lagi.
Tidak pernah.
Dimas juga tahu ia harus
bersyukur. Karena Tuhan telah menegurnya dengan begitu manis sekaligus begitu
pedih. Seperti Dara pernah bilang, kalau Dimas tidak pernah taruhan, ia tidak
akan pernah kenal dengan Dara.
There’s no happy ending
love, because true love is never ending.